Wednesday 22 October 2014

Tentang Pria Paruh Baya di Tepi Trotoar



Kita tahu. Pagi tak melulu dihinggapi fajar yang cerah dan memeluk penuh hangat. Ada sudut-sudut pagi nan tersembunyi yang membuatmu gigil. Letaknya di tepian trotoar, tempat asap kendaraan dan debu bergumul membuahkan udara yang mencekik paru; tapi di sanalah, seorang pria paruh baya menyematkan harapan-harapannya.
Aku menemukannya pertama kali di bawah kubah malam yang mendesaukan udara dingin. Seingatku, pria itu mengenakan kemeja merah kumal bernoda hitam di banyak sisinya dan celana pendek putih bermotif garis. Rambutnya tumbuh sebahu dengan acak, anak rambutnya mencuat ke sana – ke mari, berwarna cokelat kekuningan dan lengket. Wajahnya tersembunyi di balik debu-debu jalan dan kerasnya aspal. Ia tengah tidur tengkurap di bahu jalan. Rasanya, malam yang sibuk tengah memotret dirinya sendiri.
Aku selalu melewati jalan yang sama – tempat si pria paruh baya menjadikan bahu jalan fondasi rumahnya, aspal keras keramik sebagai alas rumah dan sebatang pohon kurus sebagai atap rumahnya. Kali ini aku melihatnya dengan jelas, saat itu ia tengah ditingkahi terik matahari yang terlampau kejam baginya yang sudah ringkih. Ia berdiri dengan sebelah kaki yang membengkok, dibantu dengan tongkat kayu yang sudah rapuh. Sekantong plastik hitam teronggok di pinggir trotoar, tempatnya mengadu mimpi kemarin malam. Aku terhenyak, bertanya malam lalu apa isi kantong plastik yang menjadi satu-satunya berharga untuknya – karena dipeluknya ketika lelap. Siang ini ia berganti pakaian, lalu esok malam, ia mengenakan pakaian lusa kemarin. Kantong plastik yang menggumpal itu berisi pakaiannya, yang sudah ditinggali keringat, bau busuk dan rumah kuman-kuman. Sama lusuhnya, sama kumalnya, sama kotornya – bagaimana aku harus melukiskan keadaan si pria paruh baya ketika hati tengah berdarah?
Tiap harinya, aku selalu hampir menemukannya. Kadang kala, aku melihatnya berdiri ditopang pagar usang di belakangnya yang membatasi jalan dan sungai. Sesering itulah aku bertanya, kapan terakhir kali ia menyentuh nasi hingga matanya begitu sayu, dimana ia mengecek keadaan tulang kaki dan punggungnya hingga membuatnya sulit berdiri. Aku tak pernah tahu apa yang ia tunggu setiap harinya dengan berdiri seperti itu – ia tidak meminta-minta dengan menegadahkan tangannya. Ia hanya berdiri, terkadang tak jauh dari lelaki bertubuh tegap berseragam polisi. Ia hanya berdiri, terkadang dekat dengan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Ia hanya berdiri, terkadang tak jauh dari pedangan minuman segar ataupun makanan hangat. Ia hanya berdiri, terkadang dekat dengan gedung-gedung yang menjulang.
Si pria paruh baya, berwajah tua, bertubuh renta dan bermata senja. Ia sudah memotret kita yang mati dalam waktu-waktu sibuk, yang kita buat seakan-seakan begitu maha. 
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment