Friday 29 August 2014

Lelaki yang Dikurung Bisu

"…dan, aku melangkah keluar dari sebuah aula besar yang disergap keramaian. Aku bertemu dengan matamu yang menatap bisu. Rasanya aku ingin mengambarkannya seperti ini; seluruh udara di ruang luas itu berputar menghilang ke dalam matamu, semuanya sesak, dan aku jatuh sekali lagi pada diamnya matamu.” – tentang temu kedua kita di tepi dinding bisu yang gemerlap.
Malam lalu, aku berjalan-jalan di bahu jalan raya. Aku berhenti di antara debu-debu kendaraan yang menari di sekelilingku. Sekali lagi aku mendongak untuk memotret remang-remang lampu kota ke dalam mataku; dan melempar pandang ke sekitaran tengah jalan yang lenggang. Bait-bait puisi yang hana segera berdengung di benakku; menyairkan sajak-sajak akan anganku untuk bersamamu di sini – dimana aku membayangkan kita berdiri di tengah jalan ini, dipayungi remang lampu kota. Sesekali duduk di bahu jalan, dan melagukan kesunyian. Aku tersenyum dalam sendiri.
Aku tahu; kita berdua tahu. Jikalau tak ada untai kenang dan derai tawa yang pernah kita rangkai sebelumnya. Tak pernah jua kita menikmati konstelasi bintang di bawah langit malam bersama; bahkan untuk menyapa singkat saja, aku hanya menunduk saking sesaknya dan kamu tetap mengurung diri dengan bisumu. Maka yang dihasilkan dari temu-temu penuh batas waktu dan jarak kita hanyalah; sejenak tatap mata. Harusnya tak ada cercah rasa yang terbit, kita tidak pernah bertukar senyum dan sapa. Terlebih nama.
Tapi, pagi itu. Ketika kamu duduk diam di koridor kampus. Di sudut dinding yang gelap, tepat di sebelah sebuah tanaman setinggi bahuku. Kamu mengurung diri dalam bisu; matamu memendarkan diam yang begitu hening. Kamu berhasil dalam banyak hal; membuat langkahku berhenti, memutar balik tubuhku dan menanyakan namamu. Kamu menatapku bingung; masih dengan bisu dan diam yang seakan jumpalitan menerkamku. Dan inilah keberhasilan terbesarmu untuk menjeratku dalam sekali tatap bisu dan kedip diammu; kamu berhasil membuatku jatuh sekali lagi.
Lagi-lagi ini rasa yang sulit untuk kamu sentuh. Namun, di sini aku kerap bertanya pada setubuh bisu dan diammu kala itu. Mampukah kita menjelmakan temu pertama kita dengan rindu-rindu?

0 Comments:

Post a Comment